Rabu, 17 Februari 2016

Saktinya Para Nyamuk, Puluhan Tahun Dibasmi Tapi Tidak Punah-punah

Selatpanjang. Awalnya, nyamuk hanya endemis di Benua Afrika. Sejak abad ke-16, binatang yang menularkan berbagai penyakit ini menyebar hampir ke seluruh dunia dan menjadi 'seteru abadi' umat manusia.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk melenyapkan nyamuk. Dimulai pada tahun 1939, saat Paul Hermann Muller memperkenalkan senyawa DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane) sebagai pembasmi serangga.

Semasa Perang Dunia II, DDT banyak dipakai untuk mengendalikan infeksi malaria dan typhus. Saat menginvasi Pulau Saipan di Mariana Utara pada tahun 1944, tentara Amerika menyemprotkan 900 galon campuran DDT dan minyak tanah. Hasilnya, Amerika sukses mengalahkan Jepang sekaligus nyamuk Aedes yang saat itu menyebar wabah Demam Berdarah Dengue (DBD).

Setelah perang berakhir, DDT masih dipakai untuk untuk membasmi serangga, baik nyamuk maupun hama tanaman. Muller pada tahun 1948 mendapat Nobel kedokteran atas temuannya tersebut.

Di luar perang, penggunaan DDT pada nyamuk juga mencatatkan kisah sukses di Amerika Latin. Pan American Health Organization (PAHO) di era 1950-1960-an pernah sukses melenyapkan Aedes aegypti di 18 negara Amerika Latin melalui penyemprotan DDT secara massal.

Sayangnya strategi ini butuh kewaspadaan yang konstan dan berkelanjutan. Tak lama setelah penyemprotan dihentikan, nyamuk penular virus Dengue dan Zika tersebut kembali muncul, diduga terbawa oleh kapal-kapal yang berlayar dari Asia dan Afrika.

Belakangan, penggunaan DDT dilarang karena berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Dari sisi nyamuk sendiri, resistensi atau kekebalan terhadap DDT makin banyak dilaporkan.

Perang melawan nyamuk pun berlanjut dengan sentuhan bioteknologi. Nyamuk-nyamuk mutan mulai diciptakan untuk mengontrol populasi nyamuk. Modifikasi genetik dilakukan untuk menghasilkan nyamuk mandul, nyamuk tanpa sayap, atau sekedar nyamuk kebal penyakit.

Tahun 2010, nyamuk-nyamuk jantan hasil modifikasi genetik dilepaskan di 3 tempat yakni Brazil, Cayman Island, dan Panama. Nyamuk-nyamuk ini diharapkan akan mengawini nyamuk liar betina. Tercatat, populasi nyamuk di daerah yang menjadi lokasi uji coba turun sebesar 80-90 persen.

Sayangnya, 6 bulan setelah uji coba dihentikan populasinya kembali meningkat. Pro dan kontra juga mewarnai keberlanjutan program tersebut. Sebagian mengkhawatirkan dampaknya bagi keseimbangan ekosistem, sebagian lagi tidak rela daerahnya menjadi kelinci percobaan.

Faktanya, dari sekitar 3.500 spesies nyamuk hanya ratusan di antaranya yang menyerang manusia. Tiga kelompok atau genus nyamuk penular penyakit yang paling banyak dikenal adalah Anopheles yang menularkan Plasmodium Malaria, Aedes yang antara lain menularkan virus Dengue, Chikungunya dan Zika, serta Culex yang menularkan cacing filariasis penyebab Kaki Gajah (Elephantiasis).(up/vit

sumber : http://health.detik.com

0 komentar:

Posting Komentar

Blog ini hanya sebagai sarana berbagi informasi.
Mohon komentari dengan kritik dan saran yang sopan dan bijak.
Terima Kasih